Konsep Gender Bias dan Praktik serta Kondisi dalam Lingkup Bisnis di Indonesia

Sumber Gambar: Google

Bias merupakan kondisi yang memihak atau merugikan, sedangkan gender merupakan sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun budaya. Bias gender merupakan suatu kondisi yang memihak dan merugikan salah satu gender sehingga menimbulkan diskriminasi gender.

Keseteraan gender menjadi topik yang terus dibahas oleh berbagai kalangan hingga saat ini karena bias gender diyakini akan menimbulkan perbedaan kesempatan, perbedaan perlakuan dan perbedaan peran dan diskriminasi yang dialami oleh perempuan karena stereotip yang mengganggap laki-laki lebih baik dalam kepemimpinan dibanding perempuan.

Hal tersebut antara lain dijelaskan oleh teori Nurture, yang mengatakan perbedaan antara perempuan dan laki-laki muncul sebagai hasil konstruksi sosial budaya yang menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu membuat perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Sasongko 2009)

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Indeks Pembangunan Manusia menurut provinsi dan jenis kelamin di Indonesia tahun 2019 menunjukkan bahwa laki-laki sebesar 75,96% dan perempuan 69,18%. Data tersebut menunjukkan bahwa akses hasil pembangunan pada perempuan masih lebih rendah dibandingkan laki-laki, terutama dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, dan pendidikan.

Tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) bulan Agustus 2020 mencapai 53,13% dan partisipasi angkatan kerja laki-laki sebesar 82,41%. Sementara itu ILO mencatat perempuan memiliki pendapatan 23% lebih rendah dibandingkan  dengan laki-laki.

Fenomena yang terjadi di masyarakat Indonesia yang meyakini adanya faktor feminis dan maskulin menyebabkan diskriminasi gender tersebut. Laki laki dianggap kuat, rasional dan tegas sementara perempuan dianggap lemah, emosional, keibuan, afektif dan irasional sehingga perempuan diragukan kemampuannya.

Contoh bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender dalam kehidupan sehari-hari yakni: marginalisasi atau peminggiran perempuan dari peran-peran penting, subordinasi atau pandangan yang menempatkan kedudukan perempuan lebih rendah, stereotip atau pelabelan yang sering kali bersifat negatif secara umum dan dapat menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan, kekerasan fisik maupun verbal dan double burden atau beban kerja ganda yang dibebankan kepada perempuan.

Hingga kini masih banyak tantangan untuk mewujudkan keseteraan gender dalam lingkungan kerja, istilah yang biasa digunakan untuk membahas mengenai fenomena ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan pada lingkungan kerja disebut glass ceiling. Baxter dan Wright (2000) menjelaskan bahwa glass ceiling adalah suatu penghalang transparan yang menghalangi perempuan untuk naik ke posisi yang lebih tinggi pada suatu tingkat dalam organisasi atau perusahaan.

Sebuah survey yang dilakukan oleh Financial News pada tahun 2016 menemukan bahwa mayoritas perempuan (66 persen) merasa bahwa gender membuat mereka lebih sulit untuk memiliki karir yang sukses.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Post dan Byron (2015) menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan dengan direktur perempuan yang lebih banyak cenderung akan memiliki kinerja keuangan dan pasar yang lebih baik. Hal tersebut didukung oleh penelitan lain yang berhasil membuktikan bahwa perusahaan dengan adanya keanggotaan direksi yang berasal dari kalangan perempuan secara konsisten terbukti memiliki kinerja lebih baik dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki keanggotaan direksi perempuan (Luckerath-Rovers 2013).

Fenomena kepemimpinan perempuan dalam lingkup bisnis di Indonesia menunjukkan tren peningkatan. Fakta ini didukung oleh hasil survei Grant Thornton dalam laporan “Women In Business 2021” yang menyatakan adanya peningkatan jumlah perempuan yang menduduki jabatan sebagai Chief Executive Officer (CEO) dari 20% ke 25% dibanding hasil survei tahun sebelumnya.

Posisi senior tertinggi dengan populasi perempuan terbanyak di Indonesia dipegang oleh Chief Finance Officer (CFO) sebanyak 56% disusul Human Resources Director (HRD) sebanyak 40% dan Chief Information Officer (CIO) sebanyak 31%. Laporan ini juga menempatkan Indonesia di peringkat ke-7 sebagai negara dengan posisi manajemen senior perempuan paling banyak secara global.

Hasil survei juga menunjukkan adanya upaya signifikan yang dilakukan perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk memperbaiki kesenjangan gender di tempat kerja seperti memastikan adanya akses peluang kerja yang setara dan juga memberikan pendampingan serta pembinaan tanpa membedakan gender. Selain itu di ranah BUMN telah dibentuk komunitas Srikandi BUMN guna mendorong peningkatan pemberdayaan perempuan di perusahaan.

Srikandi BUMN melalui mottonya, care, collaborate, contribute menjadi kontributor munculnya kesetaraan kepemimpinan di BUMN dan mendorong peningkatan keterwakilan pemimpin perempuan di jajaran BOD BUMN.

Kegiatan pemberdayaan yang dilakukan oleh Srikandi BUMN mencakup tiga hal yang termasuk dalam Women Development Program yakni: Professional Development, Personal Development dan Cultural Development.

Referensi:

Sasongko, Sundari S. 2009. Konsep dan Teori Gender. Jakarta: BKKBN.

Financial News. 2016. FN women in finance survey 2016. Equal Opportunities International, 25(1)

Luckerath-Rovers, Mijntje. 2013. Women on boards and firm performance. Journal of Management, 25 (3): 425-438

Baxter, Janeen, & Erik O. Wright. 2000. The glass ceiling hypothesis: A comparative study of the United States, Sweden, and Australia. Gender & Society, 14 (2): 275-94

Post, Corinne & Byron, Kris. 2015. Women on Boards and Firm Financial Performance: A Meta-analysis. Academic of Management Journal. 58(5): 1546-1571

Grant Thornton. 2021. Women In Business.

Innayah N.M.Bima Cinintya.2019. Tantangan dan kesempatan wanita dalam lingkungan kerja. Jurnal Manajemen Vol 13 No. 2 Nopember 2019.

Tinggalkan Balasan

%d